PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS

BAB I

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam belajar, hanya saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang bersangkutan dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu mendapatka perhatian dan bantuan dari orang lain.

Santrock (2008,219) menyebut anak-anak yang tidak biasa dengan istilah “exceptional students” adalah anak-anak yang memiliki gangguan atau ketidakmampuan dan anak-anak yang tergolong berbakat.

Perkembangan sejarah pendidikan bagi anak penyandang cacat, yang secara resmi disebut pendidikan luar biasa (PLB), selama beberapa dekade yang lalu telah mengalami banyak perubahan.Perubahan-perubahan itu terjadi dalam hal kesadaran dan sikap masyarakat terhadap anak penyandang cacat dan pendidikannya, metodologi dan perubahan konsep yang digunakan.

Sejarah menunjukkan pula bahwa selama berabad-abad di semua negara di dunia, individu yang berbeda dari kebanyakan individu lainya selalu ditolak kehadirannya oleh masayrakat.Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa anggota kelompok yang terlalu lemah (penyandang cacat) tidak mungkin dapat berkontribusi terhadap kelompoknya.Mereka yang berbeda karena menyandang kecacatan, disingkirkan, tidak memperoleh sentuhan kasih sayang dan kontak sosial yang bermakna.Keberadaan penyandang cacat tidak diakui oleh masyarakatnya.

Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakekat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya.Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat sering disembunyikan oleh orang tuanya, sebab memiliki anak penyandang cacat merupakan aib keluarga.

Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yamg sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang berhasil menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat.Menyelamatkan hidup anak-anak penyandang cacat menjadi penting karena dipandang sebagai simbol dari sebuah peradaban yang lebih maju dari suatu bangsa, meskipun anak penyandang cacat membutuhkan bantuan ekstra (Miriam, 2001).Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.

Anak penyandang cacat mulai diakui keberadaannya, dan oleh sebab itu mulai berdiri sekolah-sekolah khusus, rumah-rumah perawatan dan panti sosial yang secara khusus mendidik dan merawat anak-anak penyandang cacat.Mereka yang menyandang kecacatan, dipandang memiliki karakteristik yang berbeda dari orang kebanyakan, sehingga dalam pendidikannya mereka memerlukan pendekatan dan metode yang khsusus pula sesuai dengan karakteristiknya.Oleh sebab itu, pendidikan anak penyandang cacat harus dipisahkan (di sekolah khusus) dari pendidikan anak lainnya.

Konsep pendidikan seperti inilah yang disebut dengan konsep Special Education, yang melahirkan sistem pendidikan segregasi. Di Indonesia, sistem pendidikan segregasi sudah berlangsung selama satu abad lebih, sejak dimulainya pendidikan anak tunanetra pada tahun 1901 di Bandung. Konsep special education dan sistem pendidikan segregasi lebih melihat anak dari segi kecacatannya (labeling), sebagai dasar dalam memberikan layanan pendidikan.Oleh karena itu terjadi dikotomi antaran pendidikan khusus (PLB) dengan pendidikan reguler. Pendidikian khusus dan pendidikan regular dianggap dua hal yang sama sekali berbeda.

Dilihat dari sudut pandang, paedagogis, psikologis dan filosofis, sistem pendidikan segregasi,(yang lahir dari konsep special education) mengandung beberapa kelemahan dan tidak menguntungkan baik bagi individu penyandang cacat itu sendiri maupun bagi masyarakat pada umumnya. Secara paedagogis, sistem pendidikan segregasi mengabaikan eksistensi anak sebagai individu yang unik dan holistik, sementara itu kecacatan anak lebih ditonjolkan.Secara psikologis, sistem segregasi, kurang memperhatikan kebutuhan dan perbedaan individual.Ada kesan menyeragamkan layanan pendidikan anak berdasarkan kecacatan yang disandangnya.Secara filosofis sistem pendidikan segregasi menciptakan dikotomi masyarakat eklusif normal dan tidak normal.Padahal sesunguhnya secara filosofis, penyandang cacat merupakan bagian dari masyarakat yang alami (David Smith, 1995).

Konsep dan pemahaman terhadap pendidikan anak penyandang cacat terus berkembang, sejalan dengan dinamika kehidupan masyarakat.Pemikiran yang berkembang saat ini, melihat persoalan pendidikan anak penyandang cacat dari sudut pandang yang lebih bersifat humanis, holistik, perbedaan individu dan kebutuhan anak menjadi pusat perhatian. Dengan demikian layanan pendidikan tidak lagi didasarkan atas label kecacatan anak, akan tetapi didasarkan pada hambatan belajar dan kebutuhan setiap individu anak. Oleh karena itu layanan pendidikan anak penyandang cacat tidak harus di sekolah khusus, tetapi bisa dilayani di sekolah regular terdekat dimana anak itu berada. Cara berpikir seperti ini dilandasi oleh konsep Special needs education, yang antara lain melatarbelakangi munculnya gagasan pendidikan inklusif (UNESCO, 1994).

 

1.2  Ide Pokok Permasalah

Pada makalah ini akan beberapa masalah terkait dengan :

  1. Apa pengertian anak kebutuhan  khusus ?
  2. Bagaiman Perkembangan kepedulian anak berkebutuhan Khusus ?

 

 

 

 

 

1.3  Tujuan

Adapun tujuan penulisan makalah ini :

  1. Diajukan sebagai tugas mata kuliah Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
  2. Pembaca diharapakan memiliki gambaran,  pengetahuan dan wawasan terkait dengan anak berkebutuhan khusus  serta bagaimana perkembangan kepedulian anak-anak berkebutuhan khusus dari peradaban demi peradaban

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

2.1  Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Ketidaktahuan orang tua dan masyarakat pada masa lalu, mengenai hakikat dan penyebab kecacatan dapat menimbulkan rasa takut, sehingga berkembang macam-macam kepercayaan dan tahayul, misalnya seorang ibu yang melahirkan anak penyandang cacat merupakan hukuman baginya atas dosa-dosa nenek moyangnya. Oleh sebab itu di masa lampau anak-anak penyandang cacat seringkali secara sengaja disembunyikan oleh orang tuanya. Hal ini disebabkan karena memiliki anak yang cacat merupakan aib keluarga. Peradaban manusia terus berkembang, pemahaman dan pengetahuan baru mengajarkan kepada manusia bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk hidup. Pandangan seperti inilah yang  menyelamatkan kehidupan anak-anak penyandang cacat.  Pandangan masyarakat dan orang tua yang menganggap bahwa memelihara dan membesarkan anak merupakan investasi agar kelak anak dapat membalas jasa orang tuanya, menjadi tidak dominan.

    Secara ringkas Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan menyimpang dari kriteria normal baik secara fisik, psikis, emosi dan perilaku, sehingga dalam mengembangkan potensinya memerlukan perlakuan dan pendidikan khusus. Dalam memahami pengertian Anak Berkebutuhan Khusus mungkin Anda akan menjumpai beberapa istilah yaitu kelainan,  kecacatan,  dan hambatan. Pengertian dari  istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

–       Kelainan adalah ketidaknormalan fungsi sistem organ,  biasanya mengacu pada keadaan medis /organik, misalnya  ; keterbatasan jarak pandang (myopic), gangguan jantung, cerebral palsy ( gangguan pada syaraf otak sehingga otot layu)  gangguan pendengaran dan sebagainya.

–       Kecacatan  adalah merupakan konsekuensi fungsional dari  kelainan yang dimiliki. Seorang anak  yang mempunyai spinabifida ( punggung dengan keadaan bengkok / bungkuk (bahasa jawa) ) , sehingga tidak dapat berjalan tanpa tongkat penopang, berarti anak ini memiliki kecacatan. Namun, anak yang memiliki jarak pandang yang diberikan kacamata sehingga dapat melihat dengan baik lagi,  maka anak tersebut  memiliki kelainan tapi bukan kecacatan.

–       Hambatan adalah  konsekuensi sosial atau lingkungan akibat kecacatan. Banyak orang dengan kecacatan tidak harus merasa mempunyai hambatan. Masyarakat yang justru sering membuat hambatan bagi mereka, misalnya karena   penolakan, diskriminasi, prasangka serta berbagai akses fisik yang membatasi mereka untuk membuat keputusan dan melakukan pilihan yang mempengaruhi  hidupnya.  Sebagai contoh jika anak yang berkursi roda tidak dapat memasuki komunitas sekolah, dia memiliki hambatan dalam memanfaatkan sarana sekolah. Ketika sekolah dapat diakses oleh pengguna kursi roda, maka hambatan ini hilang.

      Perlu ada pemahaman pada bahwa dalam paradigma lama istilah anak berkelainan, kecacatan,  dan hambatan adalah cara pandang dalam melihat  dengan kacamata kekurangan kekurangan yang dimiliki seseorang, sedang istilah Anak Berkebutuhan Khusus adalah konsep pada paradigma baru yang lebih menekankan pada bagaimana memahami, melayani dan meminimalkan akibat dari kekurangan yang dimiliki.

Guru perlu mengenal anak dengan kebutuhan khusus dari kelompok anak pada umumnya, karena mereka memerlukan pelayanan pendidikan yang bersifat khusus. Pelayanan tersebut dapat berbentuk pertolongan medik, latihan-latihan therapeutic, maupun program pendidikan khusus, yang bertujuan untuk membantu mengurangi keterbatasannya dalam hidup bermasyarakat.

 

 

 

2.2  Perkembangan Kepedulian Anak Bekebutuhan Khusus

2.2.1        Kepedulian Masyarakat Pada Masa Peradaban Kuno

Perlakuan terhadap penyandang cacat tidak banyak diketahui sebelum kebudayaan Mesir, tetapi satu penelitian arkeologis menunjukkan bahwa penyandang cacat dapat menduduki posisi terhormat dalam sukunya (Solecki,1971,dalam Dr.Sunardi,M.Sc). Pada masyarakat timur, meskipun filsafat dan kepercayaan yang berlaku mengajarkan mereka untuk menghargai sesama, dalam prakteknya, ajaran ini tidak berlaku bagi penyandang cacat ( Lynch dan Lewis,1988 dalam Dr.Sunardi,M.Sc). Pendapat lain bahwa masyarakat  Mesir Kuno mengganggap tabu untuk membunuh bayi, tetapi bayi yang lahir cacat ternyata dibunuh.

Masyarakat Babilonia menerapkan hukum hamurabi pada tahun 2.500 SM yang melindungi wanita dan anak-anak, tetapi tidak ada petunjuk bahwa penyandang cacat termasuk didalamnya. Agama-agama besar di dunia muncul pertama kali pada masyarakat timur, seperti Kong Hu Tju ( 551-479 SM), Budha (563-483 SM), Kristen (0-33 M), dan Islam (569 -622 M). Ajaran agama-agama tersebut menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang kurang beruntung. Tetapi dalam prakteknya, kecacatan sering dianggab sebagai akibat dari dosa. Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan iman, dan jika tidak dapat disembuhkan,penyandang cacat masih dianggab dirasuki roh jahat dan belum mempunyai iman yang kuat.

Pada masyarakat Yunani kuno, Romawi, dan Sparta yang sangat mengagungkan kebugaran jasmani, kekuatan, kecerdasan, kegagahan, kecantikan, dan keberanian. Mendorong masyarakat pada masa itu untuk membinasakan penyandang cacat, karena dianggap tidak berguna, bahkan  dianggap sebagai  kendala dalam pembentukan bangsa yang lebih kuat dan sempurna (Schreerenberger,1982).

 

 

Lebih menyakitkan lagi, di Sparta, ada dewan yang secara khusus bertugas memeriksa bayi lahir di seluruh negeri, jika ditemukan tanda-tanda kecacatan, maka bayi tersebut langsung dilemparkan ke jurang yang dalam atau dibiarkan mati di hutan belantara. Pada masyarakat Yunani dan Romawi juga banyak ditemukan orang buta, karena pembutaan ternyata merupakan salah satu hukuman bagi nara pidana.

Di Athena, mulai ada perhatian kepada para penyandang cacad, yang diberlakukan oleh tokoh pembaharu, Solon, yang hidup antara 639-559 SM. Pada masa itu sudah ada pelayanan khusus, mekipun pelayanan yang diberikan terbatas pada pemberian makanan, pakaian, dan tempat tinggal ( Lynch dan Lewis,1988 dalam Sunardi ). Sistem ini mula-mula disediakan bagi para prajurit yang cacat karena perang, tetapi kemudian jangkauannya diperluas bagi penyandang cacat lain, termasuk anak-anak.

 

2.2.2        Kepedulian Masyarakat Pada Abad Pertengahan

Pada abad pertengahan bagi penyandang cacat merupakan abad yang sangat menyedihkan, meskipun hak untuk hidup sudah diakui oleh masyarakat. Banyak penyandang cacat yang menjadi peminta-minta atau pengamen, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.Banyak di antara mereka yang sebenarnya pemusik yang hebat, tetapi profesi mereka lebih disebabkan oleh kecacatannya dari pada bakat musiknya ( Lowenfeld,1975 ).

Masa yang paling menyedihkan bagi penyandang cacat adalah masa Reformasi yang lebih menekankan pada peran agama dan ilmu gaib (Kanner,1964). Lambatnya reaksi penyandang cacat mental, kejangnya penderita epilepsi, atau diamnya penyandang tuna wicara dianggap sebagai tanda kesurupan roh halus. Mereka dianggap tidak berhak menikmati kesejahteraan seperti halnya manusia normal.

Pada akhir abad pertengahan, bertolak belakang dengan gambaran diatas, pada masa ini mulai ada upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat   (Lowenfeld,1975: Moores,1978).Juan Luis Nives, seorang humanis dan pembaharu berkebangsaan Spanyol yang hidup antara tahun 1492-1540, secara persuasif menulis tentang jenis pekerjaan yang dapat dilakukan oleh para tuna netra. Pada tahun 1620, juga Spanyol, Juan Bonet menerbitkan buku pertama tentang pendidikan anak tuna rungu. Pada waktu yang hampir bersamaan, George Philip Harsdofler (Jerman) dan Fransesco lane –Terri (Italia) mengembangkan cara membuat huruf sehingga dapat dibaca oleh para tuna netra, yaitu dengan menggunakan lilin atau mengganti alfabet dengan titik dan sudut.

 

2.2.3        Rintisan Pendidikan Luar Biasa

Perluasan bentuk perhatian dan pelayanan bagi penyandang cacat, mulai menampakkan perkembangan sejak abad XVI, meskipun pendidikan formal bagi anak luar biasa baru muncul pertama kali pada abad XVIII ( Irvine,1988 dalam Sunardi ). Layanan pendidikan pada saat itu sudah pula diberikan untuk setiap kecacatan, seperti pendidikan khusus  bagi anak tunarungu, pendidikan bagi anak tunanetra, pendidikan bagi anak tuna grahita, pendidikan bagi anak tunadaksa, dan pendidikan bagi anak tunalaras yang kesemuanya ini system pelayanan masih segregasi atau dalam istilah sekarang disebut dengan pendidikan khusus.

Sama seperti halnya di banyak negara lain, di Indonesia, pendidikan luar biasa juga mendapat perhatian serius dan dipandang sangat penting dalam rangka memenuhi hak pendidikan bagi semua. Perkembangan pendidikan luar biasa dimulai pada masa sebelum kemerdekaan. Pendidikan Luar Biasa pertama kali dibuka pada tahun 1901 dengan dibukanya satu lembaga untuk penyandang tunanetra di Bandung. Layanan yang diberikan kepada penyandang tuna netra baik untuk anak-anak maupun dewasa adalah penampungan dan latihan kerja dalam bentuk sheltered workshop. Modal utama dalam pendirian Yayasan tersebut berasal dari keluarga Belanda ( Sunardi:1977 dalam Wahyu Sri Ambar Arum ).

 

Perkembangan selanjutnya pada tahun 1927, juga  di kota Bandung  telah pula dibuka sekolah bagi anak tunagrahita. Pendiri sekolah ini adalah Verniging Bijzonder Onderwijs dengan promotornya bernama adalah tuan Folker, sehingga sekolah ini dinamakan Folker School. Seiring dengan perkembangan jaman, pada tahun 1942, nama sekolah ini diganti menjadi Perkumpulan Pengajaran Luar Biasa. Kota Bandung banyak memberikan kontribusi bagi PLB di Indonesia. Sekolah bagi anak tunarungu- wicara yang pertama juga dibuka di Bandung pada tahun 1930 ( Sunardi:1977 dalam Wahyu Sri Ambar Arum ).

Pendidikan bagi anak tunalaras memang jarang ditemukan.Kategori gangguan emosi atau gangguan prilaku sendiri baru dikenal pada akhir abad XIX, itupun oleh ilmu kedokteran jiwa yang dianggap sebagai bagian dari gangguan mental. Pada akhir abad XIX, beberapa sekolah umum mulai mengembangkan program bagi anak tuna laras, misalnya di New Haven pada tahun 1930 an, dan pada awalnya sekolah menolak tanggung jawab atas pendidikan anak-anak ini. Tetapi dengan berkembangnya ilmu kedokteran jiwa sebagai cabang ilmu tersendiri, dunia pendidikan mulai mengembangkan program intervensi bagi anak tuna laras berdasarkan hasil diagnosa dan rekomendasi psikiatris.

Sama halnya yang terjadi dengan tuna laras, layanan pendidikan khusus bagi anak tuna daksa memang termasuk langka. Salah satu sebabnya adalah bahwa anak-anak tuna daksa sebenarnya tidak memerlukan layanan pendidikan tersendiri, yang diperlukan adalah layanan kesehatan atau bantuan mobilitas. Ada beberapa sekolah yang membuka kelas khusus bagi anak tuna daksa seperti di Chicago pada tahun 1899, di Providence pada tahun 1908, dan di Baltimore pada tahun 1909. Di Indonesia sekolah bagi anak tuna daksa di Yayasan Penderita Anak Cacat (YPAC).J ika sekarang ada sekolah khusus, sekolah-sekolah ini hanya menampung anak-anak yang menyandang tuna ganda yang tidak mungkin sama sekali berada di sekolah biasa, seperti anak-anak CP (Celebral Palsy).

 

 

2.2.4        Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari sistem layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal, yang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap ABK. Dalam Undang Undang Dasar 1945 menjamin bahwa  keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia untuk mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, selanjutnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan pendidikan bagi anak berkelainan. Pada penjelasan pasal 15 tentang pendidikan khusus disebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah.

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) di sekolah reguler, untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkelainan (berkelainan) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas. Selama ini, pendidikan bagi anak berkelainan disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Berkelainan (SLB), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Pendidikan Terpadu. SLB, sebagai lembaga pendidikan khusus tertua, menampung anak dengan jenis kelainan yang sama, sehingga ada SLB Tunanetra, SLB Tunarungu, SLB Tunagrahita, SLB Tunadaksa, SLB Tunalaras, dan SLB Tunaganda.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif juga merupakan perwujutan dari Deklarasi Bandung yang dicetuskan pada  Lokakarya Nasional tentang Pendidikan Inklusif yang diselenggarakan di Bandung, Indonesia tanggal 8-14 Agustus 2004, yang isinya :

 

  1. Menjamin setiap ABK mendapatkan kesamaan akses dalam segala aspek kehidupan, termasuk  bidang pendidikan,
  2. Menjamin setiap ABK mendapatkan perlakuan yang manusiawi, pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan potensi dan tuntutan masyarakat, tanpa perlakuan,
  3.  Menyelenggarakan pendidikan inklusif yang ditunjang kerja sama yang sinergis dan produktif di antara para stakeholders, terutama pemerintah, institusi pendidikan, institusi terkait, dunia usaha dan industri, orang tua serta masyarakat,
  4. Menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pemenuhan aABK,
  5. Menjamin kebebasan ABK  untuk berinteraksi dengan siapapun, kapanpun dan di lingkungan manapun,
  6. Mempromosikan dan mensosialisasikan layanan pendidikan inklusif melalui media masa, forum ilmiah, pendidikan dan pelatihan, dan lainnnya secara berkesinambungan,
  7. Menyusun Rencana Aksi (Action Plan) dan pendanaannya untuk pemenuhan aksesibilitas fisik dan non-fisik, layanan pendidikan yang berkualitas, kesehatan, rekreasi, kesejahteraan bagi semua anak berkelainan dan anak berkebutuhan.

Penyelenggaraan pendidikan inklusif  juga diperkuat dengan dikeluarkannya Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 yang mengharuskan  Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif, beserta  segala fasilitas dan sumber daya.

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang terdapat memilki perkembangan yang secara signifikan menyimpang dari perkembangan normal. Rentangan anak-anak dengan perkembangan menyimpang ditemukan dalam tiga kategori ( Impairment, Handicapped dan Disability ), mulai dari anak-anak yang kekurangan gizi, tenaga kerja anak dan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan kemiskinan serta kehidupan ekonomi baik bagi anak-anak yang mengalami gangguan dalam mobilitas, pendengaran, bicara dan bahasa, penglihatan, kemampuan intelektual dan masalah emosi, serta kombinasi dari berbagai gangguan tersebut.

Perkembangan Kepedulian pada anak berkebutuhan khusus

  1. Masa peradaban kuno.

Pada masa itu penyandang cacat memiliki kedudukan yang terhormat dan kepercayaan yang berlaku mengajarkan mereka untuk menghargai sesama, dalam prakteknya, ajaran ini tidak berlaku bagi penyandang cacat, masyarakat  Mesir Kuno mengganggap tabu untuk membunuh bayi, tetapi bayi yang lahir cacat ternyata dibunuh.  Ajaran agama menganjurkan kepedulian dan kasih sayang bagi umat yang kurang beruntung. Tetapi dalam prakteknya, kecacatan sering dianggap sebagai akibat dari dosa. Kecacatan hanya dapat ditangani melalui keyakinan dan iman, dan jika tidak dapat disembuhkan,penyandang cacat masih dianggab dirasuki roh jahat dan belum mempunyai iman yang kuat.

  1. Abad pertengahan.

Pada abad ini penyandang cacat sangat menyedihkan bahwa penyandang cacat sebagai penghalang, meskipun hak untuk hidup sudah diakui oleh masyarakat. Pada akhir abad pertengahan, mulai ada upaya memperbaiki kehidupan para penyandang cacat.

 

 

 

 

 

  1. Rintisan Pendidikan Luar Biasa.

Pertama kali dibuka pendidikan luar biasa pada tahun 1901 untuk penyandang tunanetra (SLB. A) di Bandung. Tahun 1927 di buka sekolah bagi anak tunagrahita (SLB.C) dinamakan Folker School sesuai nama pendirinya, dan berganti nama pada 1942. Sekolah  tunarungu-wicara ( SLB.B ) yang pertama juga    dibuka di Bandung pada tahun 1930.

  1. Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan perkembangan terkini dari sistem layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang secara formal, yang menunjukkan keberpihakan pemerintah terhadap ABK.

 

Melalui pendidikan inklusif, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki.

 

3.2  Saran

            Guru selaku tenaga pengajar harus mengetahui tentang anak berkebutuhan khusus. Karena pada kenyataanya sekarang anak berkebutuhan khusus sudah sering dijumpai di masyarakat dewasa ini dengan anak-anak normal lainnya. Guru mau tidak mau harus mengetahui bagaiman melayani anak berkebutuhan khusu tersebut tanpa terkecuali.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUTAKA

 

Alimim, Zaenal (2004), Reorientasi Pemahaman Konsep Special Education Ke Special  Needs Education dan Implikasinya terhadap Layanan Pendidikan dan kurikulum LPTK. Jurnal Asesmen dan Interpensi Anak berkebutuhan Khusus. Vol.3-2, 172-181.

 

Berit H.Johnsen dan Skjorten D.Miriam . (2004),Education-Special Need Education An Introduction “ Pendidikan Kebutuhan Khusus” Sebuah Pengantar,Program Pascasarjana Universitas Pandidikan Indonesia,Unipub forlag Devisi Internasional Jurusan Pendidikan Kebutuhan Khusus Fakultas Pendidikan Universitas Oslo Norwegya

 

Dapa,A ,Duyo,Usman, Marentek (2007 ) Manajemen Pendidikan Inklusif, Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Diektorat Ketenagaan, Jakarta

                                       

Sunardi ( 1996 ), Kecenderungan Dalam Pendidikan Luar Biasa, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, Jakarta

 

Suparno ( 2007 ), Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus, Bahan Ajar Cetak, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta

 

Wahyu Sri Ambar Arum  ( 2005 ), Perspektif Pendidikan Luar Biasa Dan Implementasinya Bagi Penyiapan Tenaga Kependidikan, Departemen Pendidikan nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan Dan Ketenagaan Perguruan Tinggi, Jakarta.

http://meghawulan.blogspot.com

Standard

Leave a comment